Perekonomian Indonesia : Awal mula Kepakan Sang Garuda
- Dianta Hasri
- Apr 1, 2013
- 4 min read

Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia kini tengah unjuk “gigi” di kancah perekonomian global dan baik para pelaku usaha ataupun pemerintahan melihat bahwa inilah saat-saat terbaik bagi bangsa ini untuk melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi. Tentu saja hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator ekonomi, misalkan berdasarkan riset yang dilakukan oleh Mckinsey (2012) menempatkan Indonesia di posisi ke-13 sebagai perekonomian terbesar di dunia dan memiliki potensi menjadi ke-7 terbesar pada tahun 2030 nanti. Disamping hal tersebut kita dapat melihat bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh stabil di atas 6% selama beberapa tahun belakangan ini, dan secara meyakinkan pada akhir 2012 lalu tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua setelah China (8.6%). Dari sektor konsumsi domestik pun memberikan sentimen yang sangat baik, terutama yang didorong dari pendapatan perkapita yang telah mencapai USD 3.562 (BPS, 2012), dan tingkat daya beli yang semakin menggurita dari kelas menengah Indonesia yang telah mencapai lebih dari 55% dari total populasi (World Bank, 2012). Tidak heran bila lembaga-lembaga rating dunia seperti Moddy’s, Standard & Poor, dan Fitch memberikan rating investment grade kepada negara tercinta kita ini.
Hal-hal di atas tentu saja memberikan sentimen “sangat positif” bagi banyak pelaku bisnis ataupun pemerintah, namun seperti kata pepatah : ”tak ada yang sempurna”. Bila kita lihat secara makro maka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar adalah berasal dari konsumsi domestik. Berdasarkan data dari Kementrian Perdagangan dari Januari hingga Februari 2013 ini neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sekitar USD 500 juta, dimana tingkat permintaan domestik yang tinggi tidak disertai dengan tingkat kapasitas dan hasil produksi sehingga selanjutnya meningkatkan jumlah impor. Apalagi ditambah dengan perekonomian Eropa yang tengah melesu membuat ekspor Indonesia semakin rendah. Ketimpangan tersebut tentu saja akan berdampak tidak baik bagi perekonomian ke depannya.
Pada tahun 1960an salah satu ekonom ternama Amerika bernama Walt Rostow menjabarkan sebuah teori perkembangan ekonomi suatu negara yang dikenal : Five Stages of Economic Development. Dalam teori tersebut Rostow menyatakan bahwa terdapat lima tingkatan perkembangan ekonomi di suatu negara. Pertama Traditional Society, adalah keadaan dimana sebuah negara masih melakukan kegiatan ekonomi secara tradisional, dan sektor pertanian merupakan sektor utama penopang ekonomi. Kedua adalah Preconditions for Take Off dimana negara yang berada pada tahapan ini tengah bertransisi dari negara agraris menjadi negara industri, tingkat investasi berada di atas 5% dari Gross National Product, investasi tengah meningkat khususnya dalam hal peningkatan produksi dan infrastruktur, dan besar pasar semakin melebar. Ketiga adalah Take Off , dimana sebuah keadaan politik dan ekonomi mengalami perubahan drastis, dari negara agraris menjadi negara yang berfokus pada manufaktur, dan pertumbuhan ekonomi di satu bidang ke bidang yang lainnya mengalami stimulus yang sama positifnya, tingkat investasi berada di atas 10% dari GNP, dan teknologi semakin aplikatif dalam proses pengembangan industri. Seperti contoh negara Inggris yang mengalami masa take off pada periode 1783-1802, dimana kita mengetahui pada zaman tersebut adalah masa revolusi industri. Keempat adalah Drive to Maturity, dimana negara tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan, dan beralih dari sebuah negara yang berfokus manufaktur menjadi sebuah negara yang concern terhadap penciptaan inovasi teknologi baru dan mempunyai tingkat konsumsi (secondary & tertiary) dan produksi yang tinggi sehingga mengurangi keinginan untuk melakukan impor. Dan kelima adalah High Mass Consumption , pada keadaan ini sebuah negara bisa dibilang sangat makmur, dan konsumsi masyarakat sangat tinggi dan cenderung adalah pada tingkatan kebutuhan tertiary dan quaternary, penciptaan produk-produk tahan lama menjadi pilihan.
Bila kita kaitkan dengan teori yang diungkapkan oleh Rostow, dapat kita simpulkan bahwa Indonesia kini tengah pada fase Preconditions for Take Off . Dimana Penanaman modal dalam dan luar negeri terus bertambah, teknologi industri semakin berkembang, tingkat konsumsi domestik yang stabil, dan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Namun di balik semua predikat tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus ditangani dengan segera untuk mencapai take off stage.
Tantangan Pemerintah dan Swasta
Pemerintah bersama-sama dengan swasta tentunya mempunyai cara pandang masing-masing mengenai peluang dan ancaman bagi perekonomian Indonesia, namun sebetulnya ada beberapa hal mendasar yang menjadi perhatian.
Pertama adalah defisit anggaran yang terjadi, impor kita lebih besar dibanding ekspor yang dilakukan. Tentu saja dalam hal ini pemerintah mempunyai peran penting dalam melakukan pengendalian fiskal / moneter dan untuk jangka panjang dengan melakukan investasi untuk meningkatkan kapasitas produksi secara agregat, sehingga mampu menekan tingkat ekspor secara signifikan. Sedangkan bagi swasta adalah dengan melakukan investasi untuk menciptakan produk dengan value added yang lebih tinggi, mengurangi melakukan ekspor komoditas tanpa melalui proses yang memberi nilai lebih pada produk tersebut. Tentu saja maksud dari langkah tersebut untuk meningkatkan daya saing produk nasional baik secara kualitas dan harga di tingkat pasar global.
Kedua adalah investasi infrastruktur yang minim, sepanjang tahun 2012 lalu total investasi infrastruktur Indonesia baru sekitar 4.51% dari PDB, tertinggal jauh dari India yang sejak 2009 lalu telah mencapai di atas 7%, dan China yang sejak 2005 lalu bahkan telah mencapai 9-11% dari PDB.
Ketiga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang lamban, berdasarkan data PBB (2012), Human Development Index (HDI) Indonesia baru menempati peringkat 121 secara global, dengan index 0.629, masih jauh di bawah Asia Pasifik dan Timur (0.683), dan secara global (0.694). HDI merupakan salah satu indeks yang sering digunakan sebagai salah satu indikator perkembangan sebuah negara, karena angka yang ditampilkan merupakan refleksi dari tingkat pendidikan, pendapatan, dan kesehatan di suatu negara.
Keadaan Preconditions for take off Indonesia pada saat ini tentu saja menjadi kabar baik bagi banyak kalangan, namun apa daya “berperang” bila ternyata persiapan, “logistik”, dan “tentara” belum siap? Tentu saja akan menjadi anti klimaks yang tidak kita inginkan.
Sang Garuda kini tengah mengepakkan sayapnya dan ready for take off , namun jangan lupa “Victory loves preparation”, pertanyaannya: “Do we prepared?”
Comments